Mungkin Anda pernah mendengar bahwa ternyata orang-orang yang pernah dicap gagal di sekolah bisa menjadi tokoh terkenal di dunia. Sebut saja Albert Einstein, ilmuwan terbesar pada zamannya ini selalu gagal dalam pelajaran matematika pada awal SMA dan suka melamun ketika belajar hingga dicap bodoh oleh gurunya. Begitu pula dengan Thomas Alfa Edison. Gurunya menganggap dia ’suka bingung’ dan terlalu banyak bertanya hingga dipukul oleh gurunya. Hal ini membuktikan bahwa masing-masing kita memiliki gaya belajar, gaya berpikir dan gaya bekerja yang unik, seunik sidik jari kita.
Mengenali gaya belajar menjadi penting bila dikaitkan
dengan harapan untuk sukses dalam pembelajaran baik di sekolah maupun di
kehidupan. Dulu, untuk mengetahui gaya belajar kita, maka kita akan diminta
mengisi serangkaian kuesioner yang merupakan instrumen dari LSA (Learning Style Analysis) Test,
kini telah hadir suatu cara untuk mengetahui gaya belajar kita dengan hanya
melakukan scan sidik jari atau yang sering disebut sebagai fingerprint test.
Sebuah penelitian yang dikembangkan sejak tahun 1979,
mengungkapkan bahwa ”tiga-perlima gaya belajar bersifat genetis; sisanya,
diluar ketekunan, bisa dikembangkan melalui pengalaman”. Hal ini sangat relevan
dengan fingerprint test yang mana medianya adalah sidik jari seseorang.
Telah lama kita pahami bahwa sidik jari setiap orang pasti berbeda, itulah
sebabnya sidik jari selalu digunakan untuk mengidentifikasi seseorang. Sidik
jari pun tidak pernah berubah sejak kita lahir hingga kita wafat kelak, karena ternyata
pembentukan sidik jari ditentukan oleh DNA, bersamaan dengan pembentukan otak.
Proses pembentukannya dimulai saat janin berusia 13 minggu, dan sempurna pada
minggu ke 24. Karena itulah, sangat wajar bila ternyata bukti ilmiah
menyebutkan adanya korelasi lahiriah antara sidik jari dengan kualitas, bakat,
dan gaya belajar seseorang.
Karenanya, semakin dini kita tahu gaya belajar kita,
maka akan semakin mudah pula kita dalam menyerap informasi. Laporan fingerprint
test DIC ini menyuguhkan laporan gaya belajar seseorang berdasarkan teori
VAK (Visual-Auditori-Kinestetik).
Laporan ini dibuat berdasarkan temuan para peneliti bahwa epidermal ridge
pada sidik jari seseorang memiliki hubungan yang bersifat ilmiah dengan kode
genetik dari sel otak dan potensi intelegensi seseorang. Penelitian dimulai
oleh Govard Bidloo pada tahun 1865, J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823),
Noel Jaquin (1958). Beryl Hutchinson tahun 1967 menulis buku berjudul ‘Your
Life in Your Hands’, sebuah buku tentang analisis tangan. Terakhir,
berdasarkan hasil penelitian Baverly C Jaegers (1974), tersimpulkan bahwa sidik
jari dapat mencerminkan karakteristik dan aspek psikologis seseorang, hasil
penelitian mereka telah di buktikan dibidang Antropologi dan Kesehatan. Manfaat
tes ini sangatlah luas. Terutama sekali dalam mengetahui potensi dan gaya
belajar kita ataupun anak kita.
Sebagai contoh, seorang anak dengan gaya belajar
kinestetik-visual, akan sangat kesulitan bila disuruh gurunya untuk duduk diam
dan membaca buku teks hitam-putih-tanpa-gambar. Ia kemudian sibuk ’mengganggu’
temannya, karena ia bisa menyerap informasi yang disodorkan kepadanya bila ia
diizinkan untuk mengekspresikan gerak tubuhnya. Guru yang tidak paham, akan
mengatakan bahwa anak tersebut nakal, tidak bisa diatur, dll. Padahal yang ia
butuhkan hanyalah pemahaman dari orang-orang di sekitarnya bahwa ia memiliki
gaya belajar kinestetik yang secara otomatis membuatnya lebih mudah belajar
bila ia diizinkan bergerak. Hasilnya, sangat mungkin bila anak tersebut mengalami
kemunduran atau bahkan keterlambatan dalam menerima informasi.
Hal tersebut diatas tidak akan terjadi apabila kita
tahu dan paham gaya belajar kita atau bahkan anak-anak kita. Karena bila kita
sudah paham, maka kita pun tentu tidak akan memaksakan suatu kecenderungan gaya
belajar di suatu tempat pada anak kita.
Untuk dapat mengetahui gaya belajar kita melalui Fingerprint
Test, prosesnya cukup sederhana. Pertama, kesepuluh sidik jari tangan kita
akan di-scan dan disimpan gambarnya. Selanjutnya, telapak tangan kita
akan diberi tiga titik dan diukur besar sudutnya. Proses tersebut memakan waktu
+ 5-10 menit, selanjutnya hasil scan dan pengukuran sudut
tersebut akan dibawa ke laboratorium dan dianalisa. Dua minggu kemudian, anda
sudah bisa mengetahui hasil analisanya dalam bentuk buku laporan analisa.
Keunggulannya, tes ini tidak membutuhkan waktu lama.
Peserta pun tidak harus mengerjakan berpuluh-puluh pertanyaan yang terkadang
jawabannya memancing subjektifitas peserta. Namun, ada juga kelemahannya.
Tes ini hanya mengukur bakat, gaya belajar, dan karakter seseorang berdasarkan
data genetisnya. Sehingga, kapanpun anda melakukan tes ini, maka hasilnya pun
akan tetap sama.
Hasil analisis FT memang tidak dapat memberitahu masa
depan seseorang, tetapi bisa memberikan solusi komprehensif dalam distribusi
kecerdasan lahiriah, potensi, dan gaya belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar